06 Oktober, 2010

Dilematika Manufaktur Diskrit

Kondisi gue akhir2 ini kurang baik. Hmm..tidak baik. Gue sebenernya ragu untuk memakai kata 'sangat', tapi setelah dipikir2, toh tulisan ini dari awal emang subjektif, jadi...kondisi gue akhir2 ini sangat tidak baik.

Indikasi 'ketidakbaikan' gue bisa dilihat dengan mudah. Gangguan kesehatan yang bertubi-tubi dengan alasan yang 'kurang nampol' alias GJ pertanda gue sedang memasuki kondisi kritis (ditinjau dari aspek fisik dan mental).
Jangan tanya gue apa penyebab keGJan yang gue derita akhir2 ini, karna gue pun sulit mendeskripsikannya. Bukan karna gue gak tau apa sebabnya, tapi lebih karna emang sulit dijelaskan.

Secara umum gue mengidentifikasikan kondisi gue saat ini dengan statement 'Lack Of Capacity'.

Akhir-akhir ini ada banyak hal yang harus gue pikirin, urusin, perhatiin, dll. Sayangnya, seperti kebanyakan sumber daya yang digunakan dalam suatu proses produksi memiliki suatu ukuran yang disebut kapasitas dan kapasitas yang gue punya sekarang --kalo indikator fuel bar, warnanya dah merah-- sedang dalam level yang kritis.

Saat ini, required capacity yang dirumuskan oleh bagian Production Planning and Inventory Control berdasarkan antara lain data demand bulan ini dari bagian Marketing sangat menuntut lantai produksi. Masalahnya adalah order yang masuk di periode sebelumnya belum selesai dikerjakan. Di lantai produksi masih ada begitu banyak Work In Process (WIP).

Inget pepatah tua mengatakan, "Janji adalah utang", begitu pula dengan WIP.

Analis ato konsultan TI pasti langsung berpikir 'ada yang salah dengan sistem produksi'. Pertanyaannya adalah, 'apa masalahnya?
Asumsikan masalahnya adalah kekurangan kapasitas yang adalah benar seperti yang telah dicantumkan sebelumnya. Bagaimana caranya supaya demand yang ada tetap terpenuhi? (kata 'terpenuhi' disini pun masih kurang spesifik)

Ada beberapa cara untuk mengatasi kondisi diatas, antara lain:
1. Overtime.
Lembur adalah salah satu strategi simpel untuk mengatasi peningkatan demand saat kapasitas produksi telah habis terpakai. Masalahnya adalah operator yang melakukan lembur adalah operator yang sama dengan yang melakukan produksi pada shift sebelumnya. Kemungkinan besar operator telah mengalami fatique. Perlu diperhatikan bahwa pekerja pada level operator melakukan hal yang sama sepanjang waktu kerja. Hal ini memungkinkan terciptanya fatique. Dalam dilematika manufaktur diskrit yang kita bicarakan, tidak mungkin menggunakan operator yang sama karna kondisi fisik dan mental operator telah mencapai titik ultimasi yang apabila dipaksakan akan menyebabkan kerusakan serius baik secara lahiriah maupun rohaniah.

2. Penambahan mesin
Bertolak dari asumsi setiap mesin dioperasikan oleh satu orang operator maka tidak akan ada gunanya melakukan penambahan mesin jika operator yang ada masih dalam jumlah yang sama. Dalam hal ini kemampuan operator sangat diandalkan karena mesin yang digunakan dikategorikan sebagai all purpose machine.

3. Subkontrak
Memiliki perusahan lain untuk mengerjakan part ato sub-assembly dari produk yang akan dihasilkan bisa menjadi salah satu strategi mengatasi kondisi lack of capacity. Dalam dilematika manufaktur diskrit yang kita bicarakan disini (kita? lu aja kali) tidak memungkinkan adanya subkontrak karena tidak adanya deskripsi yang jelas tentang part ato sub-assembly yang akan di'subkontrak'kan. Gambar gak ada, dimensi gak ada, foto gak ada, orat-oret pun gak ada.
Dalam hal ini perlu ada transfer visi yang jelas untuk memudahkan perusahan subkontrak memahami produk yang akan disubkontrakkan. Masalah yang lain adalah sistem manufaktur diskrit yang kita bicarakan disini sedang dalam kondisi lack of capacity. Sehingga, boro-boro transfer visi, ngerjain WIP aja ngos-ngosan. Sepertinya, orang PPIC juga ikut-ikutan kewalahan sama masalah ini, jadi energi buat mikirin strategi produksi yang lain habis.

Dalam keadaan seperti ini, manajer Produksi pun bingung bagaimana cara mengontrol aktivitas produksi seperti ini. Walaupun perbaikan sebaiknya mundur kebelakang, ke bagian forecast, scheduling, Master Production Schedule, Master Requirement Planning dan temen-temennya tapi aktivitas produksi tetap harus dikontrol. Overlapping? apanya yang mau di'overlap'in? Splitting? Gimana cara bagi dua badan gue. Satu aja dah kecil. Pada akhirnya, manajer Produksi bersama-sama dengan orang-orang PPIC cuma bisa geleng-geleng kepala.

Cerita diatas sedikit menggambarkan kondisi gue saat ini. Mengapa analoginya harus sistem produksi?
Pada dasarnya, gue gak gitu bisa itung-itungan sistem produksi (tidak akan dibahas mengenai faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebab keadaan ini), teori diatas pun bisa aja dipertanyakan (walau belum tentu gue bisa jawab). Makanya semester ini gue ngulang dan tadi siang gue habis kuis. Kuis yang cukup exhausting. Karena selain itungannya banyak, kelasnya penuh dan sepertinya 2 AC di sayap kiri dan kanan kelas tidak cukup powerful mendinginkan kelas. Ditengah-tengah jalannya kuis, setelah berkali-kali mengganti posisi duduk, tiba-tiba gue ketawa sendiri dan kembali melanjutkan kegiatan gue. Sepertinya kondisi gue makin kritis.

Akhir-akhir ini sakit kepala gue mulai sering kumat. Ini pertanda jelek. Lebih jelek lagi kalo dah dibawa tidur dan setelah bangun tidur, sakitnya masih kerasa (malah kadang sambil mimpi pun keraasa). Berat badan (ternyata) turun 3 kg. Padahal naikinnya susah banget. Siang ini amandel gue kumat dan sore ini ancer-ancer mau diare. huff..

Hal ini ngingetin gue tentang 'those hard times back there'. Gak sekali dua kali kita (gue yakin orang lain juga) pernah mengalami masa-masa sulit dan 'sukses' melewatinya. Sayangnya, gak banyak dari kita mampu recall sebagian besar momen-momen tersebut. Bahkan gue hampir yakin gak ada orang yang mampu recall semua kejadian yang pernah ada (utk 'hard times' sekalipun) dengan sangat baik. Mungkin itu salah satu masalah mengapa tiba-tiba sistem manufaktur diskrit yang kita bicarakan diatas menerima demand yang besar, yang tidak diprediksi sebelumnya. Hal ini bisa saja terjadi karena hasil forecast yang kurang baik. Salah satu faktor yang menentukan kualitas forecast adalah data historis. Pendapat gue, selain karena sistem penyimpanan informasi yang tidak cukup canggih (bayangin ada hard disk yang bisa merekam semua kejadian yang kita alami sejak lahir mpe skarang) hal ini bisa juga dikarenakan oleh ketidakpastian yang tidak terelakkan (jadi inget salah satu eyang sains yang pernah ngomong --nih juga kalo gak salah inget-- semakin pasti suatu peramalan maka semakin besar ketidakpastiannya).

Kembali kepada 'hard times' yang terpikir. Tahun lalu, setelah begadang beberapa hari ngerjain laporan praktikum, tibalah gue pada suatu subuh dimana adzan subuh mulai membahana di langit kota Bandung. Pada akhirnya target asistensi untuk beberapa jam setelahnya telah tercapai dan siap print, tiba-tiba file Excel dihadapan mata rusak. Gue cuma bisa terduduk lemas, mandangin laptop, hingga akhirnya tak terasa, gue nangis. Setelah lepas dari ledakan emosi yang datang lebih cepat dari kecepatan otak gue meresponi kejadian yang baru saja terjadi, gue doa. Isi doa gue cuma 1 kalimat, "Terima Kasih Tuhan".

(mungkin buat orang lain gak bisa gitu bayangin situasinya, tapi gue yakinkan bahwa itu adalah salah satu 'hard times' yang pernah gue alami dan teringat saat ini)

Dalam hidup ini, ada ketidakpastian yang berada jauh diluar kontrol kita. Satu-satunya yang bisa ngontrol adalah Sang Pencipta (bagi yang merasa diri Atheis, boleh menghubungi gue lewat jalur pribadi). Ketidakpastian ini yang membuat adanya peningkatan demand secara tiba-tiba. Dan pada saat yang sama, kapasitas produksi masih sama seperti yang kemaren-kemaren. Ini adalah masalah.

Ada satu orang yang gue kenal pernah ngomong gini "Kenapa lu mau terima yang baik dari Tuhan sedangkan gak mau terima yang buruk?"
Setelah dipikir-pikir, kalimat ini gak bisa dipertanyakan begitu saja. Karena logically orang akan berpikir bahwa "Tuhan memberi hal yang buruk".
Menurut gue, Tuhan tidak pernah memberi hal yang buruk. Kalo ada hal buruk (definisikan buruk dengan kata-katamu sendiri) terjadi pada diri kita itu bukan karena "Tuhan memberi hal yang buruk" tapi semata adalah konsekuensi logis dari pilihan yang kita buat.
Gue setuju dengan salah satu status FB yang diupdate sama salah satu temen. Dia bilang "Tuhan tidak pernah kasih pilihan 'tidak taat'". Dia (Sang Pencipta) cuma punya 'satu' skenario yang kalo kita ikuti akan menyatakan ketaatan kita. Munculnya frase 'tidak taat' semata hanya karna manusia yang sotoy.

Pilihan (baca : keputusan) dibuat berdasarkan pertimbangan, latar belakang pembuat keputusan, kondisi aktual, dan sebagainya. Semuanya punya pengaruh dalam menelurkan sebuah pilihan/keputusan.
Cara pandang kita (akan segala hal) mendasari pilihan kita. Cara pandang kita juga yang menentukan cara kita menghadapi konsekuensi logis yang disebabkan oleh pilihan kita.
Pada jaman postmodern segala sesuatu bisa jadi relatif. Cara pandang pun termasuk didalamnya. Cara pandang kita tergantung ini-itu yang kita 'pegang'. Tapi, faktor 'ini-itu' sangat menentukan. Jadi, apa yang kita 'pegang' sangat menentukan pilihan dan cara kita menyikapi segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita.
Pertanyaannya adalah "Apa yang kamu pegang?"

Menurut gue, ini adalah alasan mengapa orang lebih baik berpikir positif daripada negatipan mulu. Spirit positif yang dipegang akan membuat kita melihat masalah dari sudut yang berbeda dengan spirit negatipan.
Masalahnya, apakah spirit positif itu sudah cukup? Apakah ada sesuatu yang lebih dari spirit positif? Karena sebenernya, manusia sangat labil dan sangat mungkin untuk tidak berpikir positif. Akan sangat menenangkan jika kita punya sesuatu yang lebih dari spirit positif, yang gak gampang goyah saat keadaan menjadi sangat tidak pasti.

Gue punya Sang Pencipta, lu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar